Tuesday, June 23, 2009

Saat Sunyi

Di atas panggung reok sang kehidupan, tubuhmu masih tekun meliuk-liuk seirama jemari mu yang lentik dan kerlingan bola mata yang menggoda
rumput-rumput hijau ikut bergoyang
ranting-ranting berderak riang dan daun-daun melambaikan senyumnya

Di ujung jalan itu....di lorong sempit dan berbau
setitik harap terurai, menjelma belenggu-belenggu rindu yang acap terburai
"Berbaliklah dan kembalilah pulang!" gema suara itu melemahkan persendian dan memekakkan gendang telinga
"Rasa dan nyata, kerap terbalik!" suara itu kembali menerkam bilik jantungku

Aku melenguh dalam pusaran debur gelombang kehidupan
yang kadang menjeratku jatuh dan tercampak.....menganga luka....berdarah-darah
tapi, tawa membahana acap memelukku erat sampai nafasku terengah

Wahai penggenggam jiwa
Tarian itu masih berdenyut di kerak kepalaku
dan lorong sempit itu menjadi saksi belenggu yang terukir pilu
adakah jiwa ini telah rapuh???atau keropos dimakan rayap-rayap jalanan???

Sementara....sunyi masih enggan meninggalkan aku....
di sela-sela lelahnya menggapai cahaya-Mu..

Sebening Telaga

Senja menggores petang yang nyaris luruh
mentari rebah dilipat gulungan sang waktu
saat gelap merangkaki belukar malam
aku masih terguguh bisu mengusung sesimpul senyum dalam semburat taburan kilau cahaya-Mu

Disini, telah kupilin berjuta kata maaf
merobek setiap kelebat bayang-bayang amarah dan laga
menerjang-nerjang timbunan karat hati yang meradang
meski jantung berkecamuk bagai belati yang menyeru berperang

Senja itu menggandeng tsabit dan bersemayam di ranah jiwaku
rembulan menyembul dan mengulum sunyi sambil berbisik"tersenyumlah dengan tulus! rengkuhlah keindahannya"
akh, pijaran gemintang kerlap-kerlip di sekelilingku

Derai tawa renyahpun mengguncang raga
memecah gelegak rindu pada sang penggugah jiwa
duhai sang maha diatas maha
aku ingin selamanya disini, menyelami jiwa sebening telaga

Sunday, June 21, 2009

Malam Kita

Telah kuseduh secangkir tuak di retak malam
saat kau menggigil dan meraba titik-titik nadi
menampik sejuta nada yang berulang kulantunkan
gigi mu bergemeretak seirama gulungan lidahmu

Malam-malam kita bertabur kemilau bening air mata
aku makin terampil melipat-lipat masa lalu
yang kadang masih terselip dalam bait-bait puisiku
karena rasamu acap menjelma goresan2 yang merintih

Pergilah!singgahkan hati mati dan usah kembali
biarkan rasaku merenangi perjalanan waktu yang kan bertepi
pada detik terakhir ku kan pasti terhenti

Dilema

Telah kutekuri berjuta mimpi di debur kisah kasihmu
menjaga sekepal setia yang dikerumuni kawat2 berduri
mengenyam kasihmu adalah segores cerita luka
yang berulang mengiris-ngiris dan bertapis lara

Kuterjang gerimis sore yang menantang senja
renta kakiku tertatih di liat tanah basah
sementara kepak sayap malam makin pekat
sedetikkah kau berpikir tentang aku???

Layar semestamu telah bau tanah
dan rambut putihmu runtuh diterkam waktu
sang hidup memapah langkahmu yang setengah berpijak
tapi, mengapa hitam dunia masih kau geluti?

Berhentilah!Aku masih terpekur, tak sanggup melangkah dan juga enggan berdiam diri

Bidadari-bidadari-mu

Aku menghilangkan jejak ditengah keringnya langit kota itu
kerontang jiwaku mendahaga naik sampai ke ubun-ubun
sendi-sendi tulangku menjerit perih
ceceran darah air mata tak lagi sanggup kutadahi

Kuberlari kesana kemari dikejar irama kematian
saat usai merobek-robek lembaran kisah bidadari2-mu
bathinku terkoyak, kesal, jengah meramu jadi satu
khianatmu bagai pisau yang memutilasi ragaku

Masih sanggupkah aku mengulur kata maaf?
sementara, berpuluh tahun kau retas lara dengan sempurna
kali ini, izinkan aku pergi
bersama tawa yang tak lagi membumi